Sesaji Rewanda, Menjaga Keseimbangan Alam di Goa Kreo

Gunungan nasi dan lauk yang dibungkus daun jati setinggi 2,5 meter, langsung habis diambil ratusan warga dan wisatawan yang memadati pelataran Goa Kreo, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, hari Minggu 3 Agustus 2014. Nasi golong yang oleh warga setempat disebut sego kethek (nasi monyet) itu hanya boleh diberi lauk sayuran, tempe dan tahu.

Monyet Goa Kreo Gunungan Sesaji Rewanda Search Seputar Semarang...
Kera Berebut Gunungan: Salah satu kera penghuni hutan Kreo saat mengambil sesaji gunungan buah buahan dalam acara Sesaji Rewanda di Kandri. Foto @WahidUnited

Sementara itu, gunungan buah buahan langsung diserbu puluhan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) begitu diletakkan di depan pintu Goa Kreo yang berada di tengah tengah Waduk Jatibarang. Sesuai namanya, rewanda yang artinya monyet ini memangditujukan bagi monyet monyet yang selama ini menghuni kawasan Goa Kreo.

Selain gunungan buah buah dan gunungan sego kethek, masih ada 2 gunungan lain, yaitu gunungan hasil bumi (yang berisi antara lain jagung, singkong, mentimun, wortel, kacang tanah) serta gunungan lepet dan ketupat. Empat gunungan ini merupakan bagian dalam ritual Sesaji Rewanda yang berlangsung meriah di Desa Wisata Kandri. Ritual ini menjadi atraksi wisata unggulan Pemerintah Kota Semarang.

Ritual Sesaji Rewanda diawali dengan arak arak mengusung empat gunungan dari Kampung Kandri ke Goa Kreo, sepanjang sekitar 800 meter. Di barisan terdepan, 4 orang dengan riasan dan kostum monyet warna merah, putih, hitam dan kuning. Barisan selanjutnya adalah replika batang kayu jati yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga. Baru kemudian barisan gunungan dan para penari.

Menurut tokoh masyarakat Kandri yang keturunan juru kunci Goa Kreo, Mbah Kasmani, ritual Sesaji Rewanda sudah berlangsung sejak lama. Ada tiga tujuan warga kandri melestarikan tradisi ini. Pertama, bentuk rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan keselamatan selama ini. Kedua, ritual arak arakan dengan mengusung replika batang kayu jati tersebut merupakan bagian dari napak tilas Sunan Kalijaga saat ke Goa Kreo yang dahulu merupakan kawasan hutan jati pilihan untuk mendirikan Masjid Agung Demak.

“Ritual sesaji ini juga untuk memberi makan para monyet. Ini bentuk upaya warga untuk menjaga keseimbangan alam dan hewan di kawasan Kreo. Para monyet itu konon membantu Sunan Kalijaga menggulirkan batang kayu jati supaya hanyut ke sungai Kreo untuk dibawa ke Demak”, ujar Kasmani.

Ketika arak arakan gunungan tiba di pelataran Goa Kreo, wisatawan disuguhi pertunjukan sejumlah tarian, seperti tari gambyong, tari semarangan dan wanara atau tarian monyet yang dimainkan anak anak. Sesaat setelah pemuka masyarakat setempat memberi doa, sesaji gunungan selain gunungan buah buahan boleh diambil oleh siapa saja, sedangkan buah buahan khusus untuk monyet.

Sebelum tahun 2002, ritual ini murni swadaya masyarakat warga desa Kandri. Warga selalu menggelar sesaji pada hari ke-3 setelah 1 Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Lambat laun, tradisi ini semakin menarik perhatian banyak wisatawan dari Kota Semarang maupun dari luar kota.

Pada 2002, Pemerintah Kota Semarang mengangkat ritual dan tradisi Sesaji Rewanda sebagai ikon wisata unggulan Kota Semarang. Sejak saat itu, Pemkot selalu memberikan bantuan anggaran untuk mendukung prosesi dan tradisi Sesaji Rewanda. Tahun ini tak kurang dari rp 29 Juta dikucurkan guna menjadikan tradisi ini semakin meriah.

Tokoh pegiat Desa Kandri, Widodo, mengatakan, monyet monyet di Goa Kreo menjadi pertanda kelestarian lingkungan di daerah tersebut. Goa Kreo selama ini dijaga juru kunci Mbah Jamad dan keturunannya, yang asli Kandri.

Bagi warga Kandri, tingkah polah monyet itu juga pertanda lingkungan ataupun kawasan hutan di daerah ini tetap lestari atau sedang berubah. Ketika proyek Waduk Jatibarang mengepung Goa Kreo, banyak monyet dari luar Kandriberdatangan. Mereka tampaknya terusik karena adanya bukit yang dikepras, hutan dibabat, dan fungsi lahan yang menyebabkan monyet kekurangan makanan.

Salah satu pengunjung, Bayu dari kabupaten Demak, mengatakan, mengingat tradisi ini sudah menjadi agenda wisata, sebaiknya Pemkot Semarang membuat jalan baru. Dengan demikian masyarakat tidak terjebak macet saat akan pulang.
[Kompas cetak, Hari Selasa, 05 Agustus 2014 – Winarto Herusasono]

Kategori: Wisata .
One Comment

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *