Pertempuran Lima Hari Semarang
Pertempuran 5 Hari atau Pertempuran Lima Hari Semarang merupakan rangkaian pertempuran antara rakyat Indonesia di Semarang melawan Tentara Jepang. Pertempuran ini dimulai pada tanggal 14 Oktober 1945 dan berakhir tanggal 18 Oktober 1945. Dua hal utama yang menyebabkan pertempuran lima hari ini terjadi karena larinya tentara Jepang dan tewasnya dr. Kariadi. Apa yang menjadi latar belakang dan juga kronologi pertempuran ini?
Kronologi Peristiwa Pertempuran 5 Hari Semarang:
Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia: Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan tokoh-tokohnya: Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Kaburnya tawanan Jepang: Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh.
Tewasnya Dr. Kariadi: Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, Desa Wungkal, waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang Rumah Sakit Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Tokoh-Tokoh yang terlibat dalam Pertempuran 5 Hari Semarang ini:
dr. Kariadi dan istri, drg. Soenarti. dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Ia juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat Purusara. Tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro. Mr. Wongsonegoro, Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta. Mayor Kido (Pemimpin Kidobutai). Pimpinan Batalion Kidobutai yang berpusat di Jatingaleh. Kasman Singodimejo. Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia. Jenderal Nakamura. Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang.
Monumen Tugu Muda, Monumen Peringatan Pertempuran 5 Hari Semarang:
Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan Lawang Sewu. Selain pembangunan Tugu Muda, Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.
Pertempuran 5 Hari Semarang:
Pertengahan Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945, diproklamirkanlah Republik Indonesia. Kabar ini lalu mendapatkan dukungan luas dari masyarakat di Indonesia yang telah lama menderita dibawah pendudukan bangsa asing dan untuk mengisi kekosongan pemerintahan pasca kalahnya Jepang di kancah Perang Pasifik.
Di Kota Semarang, semangat untuk mendukung Republik Indonesia juga menggelora. Para anggota milisi pemuda pendukung kemerdekaan segera menuntut kepada tentara Jepang yang masih berjaga menunggu kedatangan pasukan Sekutu untuk tunduk kepada Republik Indonesia dan menyerahkan senjatanya kepada para pemuda. Ketegangan pun terjadi disela-sela kekacauan yang terjadi akibat masa vacuum of power. Beberapa kekacauan terjadi antara milisi pemuda dengan tentara Jepang.
Pelucutan senjata tentara Jepang berlanjut, ratusan tentara Jepang ditawan oleh para milisi pemuda di Penjara Bulu, Semarang. Kekacauan terus terjadi dan menimbulkan kesalahpahaman, puncaknya tawanan-tawanan tentara Jepang di Penjara Bulu dihabisi oleh para milisi Pemuda. Tercatat 200 Tentara Dai Nippon tewas. Peristiwa ini menimbulkan amarah Tentara Jepang yang bermarkas di Kesatrian Jatingaleh. Mayor Kido, komandan Tentara Jepang di Semarang, mengerahkan pasukannya untuk melakukan tindakan balas dendam. Kekacauan terjadi lebih parah dengan dibakarnya beberapa kampong seperti kampung Batik, Pandean Lamper, dsb.
Pada 14 Oktober 1945 merebak kabar diracunnya sumber air warga Kota Semarang melalui Reservoir Siranda. Dr. Kariadi, kepala Purusara (Pusat Urusan Kesehatan Rakyat) kini dikenal sebagai RS. Dr. Kariadi, tergerak untuk mengecek kebenaran kabar tersebut. Malang bagi Dr. Kariadi, saat melintas di Jalan Pandanaran, Ia bersama dua ajudannya diberondong tembakan Tentara Jepang dan tewas.
Pertumpahan darah pun terjadi selama lima hari di Kota Semarang dari tanggal 15 Oktober hingga 20 Oktober 1945. Kontak senjata antara Tentara Jepang dan para milisi Pemuda terjadi sporadis di beberapa lokasi di Kota Semarang. Diperkirakan sekitar 2000 lebih masyarakat Semarang baik sipil maupun anggota milisi Republieken tewas selama perang berlangsung. Sedangkan di pihak Jepang, diperkirakan korban tewas sekitar 500 orang. Perang baru berakhir saat tentara Sekutu tiba di Semarang . Untuk mengenang peristiwa ini dibangunlah Tugu Muda di pusat Kota Semarang.