Dialog Budaya Bersama Emha Ainun Najib

JAWA adalah pusat perputaran budaya dunia. Karena itulah, orang Jawa harus lebih mampu mengendalikan dan menjaga kepribadian dirinya jika ingin ‘menguasai’ dunia.

Semangat itulah yang hendak disampaikan budayawan Emha Ainun Nadjib di sela Dialog Budaya bertajuk Rumangsa Handarbeni-Melu Hangrungkebi-Mulat Sarira Hangrasa Wani yang digelar Forum Wartawan Kota (Forwakot) di Balaikota Semarang, Selasa (14/4/15). Menurut Cak Nun panggilan akrabnya, menyadari hal itulah para penjajah negeri ini, berusaha selalu mengkerdilkan warga bangsa ini.

Cak Nun Emha Ainun Najib

“Selama 350 tahun lalu saat dijajah, kita dikerdilkan, dibangun mindset bahwa orang pribumi itu kere dan bodoh,” terangnya.

Dengan pola pemikiran semacam itu, dipastikan orang Jawa tidak akan memberontak karena tercipta kelas sosial kemasyarakatan. Dengan demikian pula, bangsa asing dapat menjajah negeri ini dan mengambil semua sumber daya alam yang ada untuk kemakmuran mereka sendiri.

Dialog Budaya Cak Nun

Pola pemikiran yang dibangun berates-ratus tahun, ternyata berpengaruh pada pemikiran masa kini. Akibatnya banyak warga bahkan pemimpin yang memiliki sifat feodal.

“Penjajahnya sudah pergi tapi sifat yang ditinggalkannya masih ada hingga saat ini, terbawa dalam setiap pemikiran masyarakat,” tukasnya.

Untuk itulah, Cak Nun mengajak warga untuk membawa nilai-nilai Jawa dalam setiap tingkah laku termasuk sifat andhap asor, ramah dan juga suka memaafkan. Baginya, pengaruh barat juga dapat dijadikan serapan positif begitupun pengaruh Arab.

“Namun jangan sampai bilang bahwa Arab itu pasti Islam dan Islam itu pasti Arab. Ada juga orang Arab yang Kristen, Yahudi dan sebagainya. Jawa dibawa, barat digarap, Arab diruwat,” imbuhnya.

Anak pertama Cak Nun, Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang akrab dipanggil Noe Letto, tak mau kalah. Ia bahkan beradu pemikiran dengan sang ayah, membedah persoalan budaya.

Sebagai pemuncak, ia menyanyikan lagu Sebelum Cahaya bersama Kyai Kanjeng dan juga Jazz Ngisoringin. Tak pelak, sajian ini menjadi pemuas dahaga ribuan pengunjung yang memadati Balaikota.

Walikota Semarang Hendrar Prihadi mengajak seluruh warga untuk mengedepankan budaya rembug seperti ini. Dengan demikian setiap persoalan kota, dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa harus merugikan atau mencerca satu sama lain.

“Masalah tidak harus diselesaikan dengan cara memaki. Mari kita teladani sikap para sesepuh dan pendahulu kita akan sikap mereka mengedepankan musyawarah untuk mendukung berkembangnya kota ini lebih baik lagi,” tandasnya.

Ketua Forwakot Lanang Wibisono menegaskan acara ini merupakan kado bagi HUT Kota Semarang ke-468. Kehadiran Cak Nun dan Kyai Kanjeng diharapkan dapat menjadi pelecut demi perbaikan kota ini di masa depan.

Kategori: Serba serbi . Tags:

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *