Pameran Lukis Kopi “One Heart For Second Hope”
Visual Art Group Exhibition of Coffee “One Heart For Second Hope” akan dihelat selama 7 hari, dari 20 Agustus 2016 s.d. tanggal 27 Agustus 2016. Berlokasi di ruang galeri Nestcology Jl Tambora Candisari Semarang. Pada gala pembukaan pameran akan hadir seorang maestro musik klasik yaitu Asep Hidayat, yang keseharian juga dikenal sebagai pengajar musik di ISI Yogyakarta. Didapuk sebagai tamu kehormatan beliau akan turut menyumbangkan kepiawaiannya dalam menggesek cello pada sabtu (20/8/16) esok. Harapan dari Komunitas SERUPA selaku inisiator, berkolaborasi dengan Yayasan Setara Semarang dan Nestcology yakni kegiatan ini dapat mendukung tersampaikannya tujuan dari program pendampingan dan perlindungan anak-anak yang sampai dengan hari ini telah dilakoni oleh UNICEF Indonesia.
Sebagai kurator, Mahmud Elqadrie berusaha mengawal proses berkarya para seniman perupa pada tingkat konseptual menyaring dan mensinergikan ide-ide dan konsep yang diusung para perupa melalui bayang-bayang warna kekelaman kopi. Menurut Mahmud, pameran seni rupa yang bertajuk “One Heart for Second Hope“ yang mengusung tema (subject matter) persoalan “Anak yang Berhadapan Hukum (ABH)“ dengan memanfaatkan medium ampas kopi, bermaksud mengingatkan kembali akan narasi besar tentang peristiwa kemanusiaan dimana subjek manusia dihadapkan dengan sebuah perkara keterancaman masa depannya, dan manusia itu tak lain ialah anak-anak yang masih berada diambang labilitas serta butuh pembinaan.
Bagi seniman yang terbiasa menempatkan kepekaan nuraninya, wajar kalau tergugah dan pameran kali ini lebih memaknakannya sebagai “tanggung jawab sosial“ lewat ekspresi bahasa rupa (karya lukisan, instalasi tiga dimensional dan patung) dalam menghasratkan kepeduliannya, merepresentasikan bayang-bayang warna kekelaman warna kopi sebagai kode artistiknya, sekaligus media visual karya seni kontemporer.
“Disini, setiap seniman tentu memiliki ruang personalitas kekhasan dalam menuangkan ide-ide dan gagasannya. Dengan ketajaman imajinasi, rasio, intuisi dan keyakinan cara pandangnya. Tafsir terhadap kekerasan pada anak ditelisiknya tidak sekedar makna visual yang verbal, bukan sekadar bahasa artifisial, namun sebagai bahasa seni tafsir visualitas yang tentunya lebih menukikkan kepersoalan yang berkelindan pada semua aspek. Bukankah kekerasan berwajah sangat kompleks dan berbentuk multi-dimensional. Mulai dari kekerasan psikologis, kekerasan sosial ekonomi, budaya, kekerasan relegiusitas, kekerasan pendidikan, dan seterusnya”, imbuh Mahmud.
Komunitas SERUPA melalui Sunu D. Wibiakso selaku salah satu inisiator bertutur bahwa mereka telah mengundang beberapa tamu potensial yang akan membeli karya-karya berbasis media kopi yang ditampilkan selama tujuh hari tersebut. Sunu berharap pameran ini tidak hanya dipandang sebagai salah satu ajang yang mengedepankan sisi transaksional yang memang awalnya ditujukan untuk penggalangan dana untuk anak-anak itu. Namun secara luas dapat disikapi secara lebih bijak oleh khalayak ramai bahwa eksplorasi terhadap tragedi yang menimpa anak-anak yang berhadapan dengan hukum ataupun fenomena kekerasan anak yang sampai sekarang masih santer terjadi dapat direspon dengan hal-hal serupa dengan pameran ini, apresiasi bahkan empati yang tertumpah pada isu ini dapat berupa apa saja.
“Kepedulian macam ini kiranya dapat mengubah persepsi publik akan tragedi-tragedi yang selama ini tengah menimpa dunia anak-anak khususnya di Indonesia bahwa kekelaman dapat disikapi secara indah melalui hasta karya sendiri. Kami juga berkomitmen melalui Komunitas SERUPA bahwa kegiatan serupa takkan berhenti di sini saja, kami akan terus berusaha mewarnai dunia anak-anak dengan segala kemampuan dan sinergitas renjana kami sehingga kelak dapat menjelma sebagai sarana pencerah masa depan anak-anak yang sedang berhadapan dengan hukum”, pungkas Sunu.