Perjalanan Manusia dan 8 Ajaran Kemuliaan Budha di Candi Borobudur
Tak banyak pemeluk agama Budha di Indonesia. Sensus Badan Pusat Statistik menyebut 1.703.254 pemeluk agama Budha pada tahun 2010. Kurang dari 1% dari jumlah penduduk Indonesia di tahun itu. Uniknya, negara ini memiliki warisan berupa candi Budha terbesar di dunia, Candi Borobudur.
Terletak di Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Candi Borobudur memiliki luas bangunan 2.500 meter persegi. Bukan hanya besar bentuknya secara fisik, namun Candi Borobudur juga menyimpan kebesaran ajaran Budha melalui simbol-simbol pada relief, arca dan stupanya. Duniapun mengakui kebesaran Candi Borobudur, sehingga UNESCO – Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) – menetapkan candi Budha tersebut sebagai warisan budaya dunia, pada tahun 1991.
Perjalanan dan Ajaran
Kaki candi yang disebut Kamadhatu memiliki relief yang memuat kisah Karmawibhangga. Dimana perjalanan manusia di dunia masih dikuasai oleh nafsu rendah. Sebagian besar panel relief yang menyusun kisah tersebut kini tersembunyi oleh struktur tambahan. Namun di sudut tenggara masih terlihat sebagian kecil kisah tersebut.
Empat lantai candi di atas kaki candi disebut Rupadhatu. Dinding dan langkannya memiliki relief yang memuat kisah Lalitawistara, Jataka dan Awadana, serta Gandawyuha. Terdiri dari 1.300 gambar relief yang panjang seluruhnya mencapai 2,5 kilometer. Seluruhnya dibaca dengan cara memutari selasar setiap lantai candi searah jarum jam. Cara pembacaan itu seperti simbol roda berjari delapan yang dipilih Budha saat memberikan khotbah pertamanya di Taman Rusa.
Artinya, kehidupan atau perjalanan manusia seperti roda, terus berputar dan tidak pernah berhenti sebelum mencapai suatu titik. Rupadhatu adalah alam antara, untuk berputar melaluinya dibutuhkan delapan jalan kemuliaan yang dilambangkan oleh delapan jari-jari roda yang disimbolkan Budha dalam khotbah pertamanya. Yakni pandangan benar, pikiran penar, ucapan benar, perilaku benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Perjalanan manusia akan terus berputar tanpa henti sebelum mencapai sebuah titik tanpa rupa. Di atas Rupadhatu, terdapat bagian candi bernama Arupadhatu, dua tingkat lantai berbentuk lingkaran tanpa relief pada dindingnya. Arupadhatu sendiri bermakna tanpa rupa, tidak berwujud. Merupakan simbol alam atas yang dicapai manusia setelah mampu melewati perjalanan dengan delapan ajaran kemuliaan Budha.
Pada bagian Arupadhatu terdapat 72 stupa kecil berbentuk lonceng yang tersusun pada tiga teras, berturut-turut 32, 24, 26, mengelilingi satu stupa induk. Arca-arca Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar. Rancang bangun ini menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan tanpa wujud. Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi.
Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Stupa utama bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan sempurna di mana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara. Dalam roda yang disimbolkan Budha pada khotbah pertama, stupa utama inilah satu-satunya titik yang tidak berputar. Merupakan pusat perputaran itu sendiri. Maknanya adalah, seluruh perjalanan manusia di muka bumi pada akhirnya menuju pada ketiadaan wujud yang sempurna, Nirwana.
Arca pada Candi Borobudur memiliki dua jenis, yaitu Manushi Budha atau Budha yang pernah dan akan turun ke dunia, dan Dhyani Budha. Arca-arca Budha tersebut memiliki keunikan pada posisi jari yang berbeda-beda atau disebut mudra. Selain itu, arca-arca Budha juga menghadap ke arah Timur, Utara, Selatan, dan Barat, khusus bagi arca Dhyani Budha ada yang menghadap ke pusat, dan memiliki arca yang tak terlihat oleh mata, yang disebut dengan Adi Budha.
Makna simbol arca Manushi Budha dan Dhyani Budha tersebut mempresentasikan ajaran delapan jalan mulia, enam paramita, dan hukum karma yang dimaknai sebagai peristiwa sebab akibat dalam agama Budha. Adapun 72 stupa di puncak candi dan 1.472 buah stupa kecil, memiliki kaitan yang begitu kuat terhadap ajaran ajaran Budha, yaitu hukum karma, delapan jalan mulia dan nibbana/nirwana. Semua itu diwakili oleh bagian-bagian dari stupa yang disebut dengan andha, harmika segi empat dan delapan, yasti, dan teratai.
Kisah Sejarah
Dibangun pada abad VIII, pada masa kekuasaan Wangsa Syailendra yang menganut ajaran Budha Mahayana, candi ini pernah berabad-abad telantar dan terkubur semak belukar. Pada masa itu, candi tak digunakan. Sampai akhirnya kembali ditemukan dan mulai digali oleh insinyur Belanda H.C Cornelius bersama timnya pada tahun 1814, dibawah perintah Gubernur Jenderal Inggris yang bertugas di Jawa saat itu, Thomas Stamford Raffles.
Sejak itu penelitian dan pemugaran terus dilakukan. Kisah-kisah sejarah terungkap. Kini pengunjung Candi Borobudur dapat menyaksikan kisah-kisah tersebut dalam film yang setiap hari diputar di ruang Theater Audio Visual yang terletak di kompleks candi. Film berjudul dokumenter “Eternal Borobudur: Borobudur masa lalu, sekarang dan nanti” dan “Learning From Borobudur”. Keduanya merupakan film karya sutradara Budi Laksono. Sejak Maret 2016, kedua film tersebut menggantikan film “Jendela Keajaiban Dunia” karya Garin Nugroho yang dibuat 25 tahun sebelumnya dan diputar di ruang yang sama.
Mengunjungi Borobudur
Kebesaran Borobudur menarik perhatian pelancong baik dari dalam maupun luar negeri. Terlebih tiket masuknya yang relatif terjangkau dan tidak mahal jika dibandingkan dengan pengetahuan dan pengalaman yang bisa didapat dari sana. Sejak Mei 2017 lalu tiket masuk untuk wisatawan domestik adala Rp 40 ribu untuk dewasa dan Rp 20 ribu untuk anak anak. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara USD 25.
Untuk mencapai Candi Borobudur juga tak sulit. Terletak sekitar 45 km arah utara dari Yogyakarta, 20 km arah selatan dari Kota Magelang, dan 90 km dari kota Semarang. Rute yang dapat ditempuh bisa via udara, yaitu penerbangan dengan tujuan Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Bisa juga dengan tujuan Bandara Ahmad Yani Semarang. Kemudian dapat dilanjutkan dengan perjalanan darat, dapat memakai angkutan umum ataupun kendaraan sewa dan pribadi.
Jika butuh penginapan, terdapat hotel di dekat Candi Borobudur. Penginapan alternatif seperti homestay di rumah penduduk pada Desa Wisata di sekitar Candi Borobudur, layak dicoba. Ada beberapa keuntungan menginap di Desa Wisata. Dapat menghirup udara segar dan menikmati panorama pedesaan. Tak perlu terlalu jauh dari Candi Borobudur, sehingga bisa menentukan waktu kunjungan yang cocok, misalnya pagi atau sore agar tidak panas.
Menginap di Desa Wisata juga bisa mendapat pengalaman tersendiri. Melihat aktifitas masyarakat desa, menjajal kuliner desa, sekaligus merasakan langsung bagaimana hidup di desa, bersepeda, berjalan kaki dan lainnya. Ada 10 Desa Wisata yang bisa dikunjungi sekaligus digunakan sebagai tempat penginapan saat berkunjung ke Borobudur.
1. Desa Wanurejo. Desa wisata ini paling popular. Terletak sangat dekat dengan Borobudur dan telah lama menjadi tujuan wisatawan mancanegara dan nusantara. Atraksi menarik di desa ini adalah kuliner seperti keripik tempe dan kue clorot. Ada juga batik tulis khas Magelang, bumi perkemahan, atraksi kesenian dan kerajinan tangan.
2. Desa Tanjungsari. Terletak 3 kilometer dari Candi Borobudur dan berlatar Bukit Menoreh. Di desa ini dapat dijumpai aktifitas penduduk dalam proses pengambilan madu. Bagaimana petani lebah madu melakukan aktifitasnya sehari-hari jga dapat dirasakan wisatawan yang datang. Kerajinan ornamen, kesenian, dan lainnya juga dapat dijumpai di desa ini.
3. Desa Majaksingi. Tak jauh dari Desa Tanjungsari. Penggemar jalan kaki bisa menginap di desa ini, karena ada sunrise trekking dan cycling. Jaran kepang atau kuda lumping, jathilan, kethoprak, dan topeng ireng, adalah kesenian yang disuguhkan di desa ini. Aktifitas penduduk desa membuat sangkar, topeng, dan ukiran kayu juga dapat disaksikan, bahkan diikuti secara langsung.
4. Desa Giritengah. Tercatat dalam sejarah karena pernah disinggahi Pangeran Diponegoro saat melakukan perang melawan Belanda antara 1825-1830. Jejak sang pangeran masih ada dan terawat, yaitu ‘pos mati’ yang merupakan puncak bukit tempat menyimpan senjata. Dari ‘pos mati’ pengunjung bisa menyaksikan keindahan Gunung Merbabu dan sawah yang indah.
5. Desa Candirejo. Dikelilingi area pertanian. Nyaris seluruh desa masih alami. Masih ada upacara nyadran, ritual mengirim doa tahunan untuk para leluhur desa di Bulan Ruwah atau menjelang Ramadhan. Upacara besar lainnya adalah Saparan dan Perti Desa (Bersih Desa/Sedekah Bumi) setiap tanggal 15 bulan Sapar (kalender Jawa). Kesenian tradisionalnya adalah karawitan, wayang dan Tarian Gatholoco/Wulangsunu. Cinderamata khas dari desa ini adalah kerajinan bambu dan pandan.
6. Desa Giri Purno. Ada dua suguhan menarik di sini. Memerah susu kambing dan mengunjungi Air Terjun Giri Purno. Kuliner tradisioal berbahan talas, seperti bolu talas dan keripik talas.
7. Desa Tuksongo. Ciri khas desa ini adalah sebagian besar penduduknya merupakan petani tembakau. Dari desa ini bisa dilihat puncak Pegunungan Menoreh yang bernama Suroloyo. Di sebelah utara, Candi Borobudur tampak megah.
8. Desa Bumiharjo. Ada banyak permainan tradisonal yang dimainkan di desa ini. Koleksi permainan tradisional juga ada di sini. Dapat dijumpai warung makan tradisional, apotek hidup, dan aneka cinderamata.
9. Desa Kebonsari. Terletak 5 kilometer dari Candi Borobudur. Di desa ini seluruh warganya menekuni profesi kerajinan bambu. Hasil kerajinan dipasarkan ke kawasan wisata lain, seperti Yogyakakarta, Bali, Lombok, Danau Toba, dan Malaka.
10. Desa Kenalan. Desa ini terletak di kawasan pegunungan. Pengunjung dapat menyaksikan penduduk menganyam pandan menjadi tikar dan kerajinan lainnya. Ada pula industri rumahan pembuatan slondok dan penganan lain dari dari ubi kayu. Biasanya pengunjung yang datang ke sini akan menuju goa dan berjalan-jalan di hutan.
Ribuan hingga puluhan ribu wisatawan datang ke Candi Borobudur setiap harinya. Hal tersebut tentunya berdampak pada kondisi candi dan lingkungan sekitarnya. Untuk menjaga agar kelestarian candi berikut lingkungannya maka ada hal-hal yang harus diperhatikan saat mengunjungi candi tersebut.
Pertama, antre. Candi Borobudur adalah temat suci berusia tua. Jumlah pengunjung yang banyak sedikit banyak mempengaruhi kelestarian candi. Persyaratan memakai sarung tidak semata untuk menghormati tempat suci tersebut. Namun juga berfungsi untuk mengendalikan kunjungan. Pengunjung diharapkan mengantre sarung secara tertib. Jika sarung yang disediakan habis, maka harus menunggu sampai pengunjung lain selesai mengitari candi.
Kedua, tidak merogoh dan memanjat stupa. Petugas akan berkali-kali mengingtakan pengunjung untuk tidak merogoh dan memanjat stupa. Kendati menjadi kepercayaan awam, bahwa merogoh stupa dan menyentuh arca Budha di dalamnya akan mewujudkan impian, namun tingkah tersebut berpotensi merusak candi.
Ketiga, perhatikan sampah. Seperti tempat wisata lain di Indonesia. Candi Borobudur pastinya menyediakan tempat sampah. Namun masih banyak pula pengunjung yang sembarangan membuang sampah. Tidak ada yang tidak kehausan mendaki Candi Borobudur yang tingginya mencapai Jika jauh dari temoat sampah, sebaiknya disimpan dahulu. (*)