Ketika ditanya soal pakaian sutera, biasanya kesan dibenak sebagian orang adalah kuno. Kemajuan teknologi dan maraknya tren yang lebih modern saat ini, menjadikan sutera jarang digunakan lagi. Wajar ketika orang mengatakan sutera, maka kesan yang timbul dalam pikiran adalah kuno. Namun kesan itu nyaris tidak nampak pada Fashion Show on The Street yang dilaksanakan di Makassar pertengahan Oktober 2014 lalu.
Sebanyak 345 model mengenakan pakaian khas berbahan dasar sutera berjalan menapaki karpet merah yang terhampar sepanjang 30 meter. 45 model diantaranya berasal dari Jakarta dan 300 model dari Makassar. Penampakan model fashion kali ini cukup berbeda karena catwalk nya di tengah jalan protokol, tepatnya Jalan Sudirman, Makassar. Jalan yang tiap hari dipadatri kendaraan yang lalu lalang menuju pusat kota, sore itu benar benar sepi kendaraan.
Fashion Show yang mengangkat tema “Fashion Silk On The Street” ini dilaksanakan dalam rangka HUT Sulawesi Selatan yang ke 345. Para model memamerkan gaya busana mereka masing masing, hasil rancangan sejumlah desainer asal Jakarta dan Makassar. 45 busana berbahan dasar sutera yang diperagakan oleh 45 model dari Jakarta, merupakan rancangan Tuti Cholid. Sementara 300 busana lainnya merupakan karya desainer Makassar. Meski demikian, seluruh busana tetap mengangkat bahan dasar sutera.
Mempertahankan warisan budaya seperti sutera tidaklah mudah. Saat menyaksikan para model mengenakannya pada fashion show kali ini, seolah membantah tudingan bahwa sutera adalah kuno. Sutera dapat tampil indah mengikuti tren masa kini.
Kain sutera ini mnejadi salah satu kain khas dan merupakan warisan budaya Sulawesi Selatan, sekaligus menjadi andalan komoditi perdagangan yang telah dikembangkan sejak 1950-an di Kabupaten Wajon dan Soppeng. Dan Sulawesi Selatan adalah salah satu penghasil sutera terbesar di Indonesia.
Dalam sebuah legenda diceritakan, konon kain sutera Bugis pertama kali ditemukan di danau Tempe, salah satu danau yang terletak di Kabupaten Wajo. Ketika itu salah satu bidadari yang mandi di danau lupa membawa pulang kain suteranya. Salah seorang warga menemukannya dan membawanya pulang. Sejak saat itu, masyarakat berusaha mencari tahu bagaimana membuat kain sutera yang sebenarnya. Perkembangannya dimulai sekitar tahun 1400-an ketika itu kali pertama masyarakat Bugis menemukan cara bertenun. Dan 200 tahun setelahnya, perkembangan corak dan warna mulai maju, hingga seperti yang kita lihat saat ini.
Mulanya, seperti sarung sutera Bugis hanya digunakan sebagai kain atau bawahan padanan dari Baju Bodo, salah satu pakaian tradisional Sulawesi Selatan. Sutera lebih dikenal dengan sebutan lipa, yang dalam bahasa Indonesianya berarti sarung. Sekilas tampilannya terlihat biasa, layaknya sebuah sarung yang dikenakan saat shalat. Namun jika dilihat lebih dekat, tiap motif menyimpan kegunaan dan makna simbolis. Misalnya motif kotak kotak, tidak semua sarung memiliki kotak yang sama. Beda ukuran kotak mengandung arti yang berbeda pula.
Uniknya lagi, karena dahulu Suku Bugis menjadikan sarung ini sebagai lambang status seorang wanita, apakah ia sudah menikah atau belum. Caranya dilihat dari motif sarung yang dikenakan. Sarung yang memiliki motif kotak kotak kecil yang dihasilkan dari paduan garis garis vertikal dan horisontal serta berwarna cerah, dinamakan motif Ballo Renni. Motif ini hanya dikenakan oleh wanita yang belum menikah.
Ada pula motif Balo Lobang Kain, memiliki garis yang cenderung tebal sehingga menghasilkan kotak yang besar pula. Warnanya lebih terang, seperti merah terang ataupn merah keemasan. Motif ini digunakan untuk pria Bugis yang belum menikah. Masih banyak motif motif indah lainnya, seperti motif Bombang, motif Cobo dan Moppang yang memiliki fungsi sangat unik, yakni untuk hubungan suami istri karena ukurannya jauh lebih besar dari ukuran sarung biasa.
Kemajuan teknologi dan perkembangan dunia fashion membuat sejumlah perancang berusaha menghasilkan produk modern dengan berbagai bentuk. Ada yang membuat menjadi baju, rok, selendang, hingga accessories lainnya. Dan untuk diketahui saja, seorang perajin sarung sutera ini menghabiskan waktu sebulan lamanya untuk menghasilkan satu lembar sarung.


