Keramahan di Warung Makan Mbak Maret

Saat itu sore hari menjelang malam. Bosan dengan hiburan modern, kami memutuskan untuk menonton hiburan keroncong di Taman Budaya Raden Saleh, atau yang biasa kita sebut dengan TBRS. Berharap untuk bisa menemukan liputan unik lainnya tentang kebudayaan Semarang. Temaram lampu masuk ke dalam kawasan TBRS, bukan menjadi halangan, sambil menunggu pertunjukan dimulai, kami duduk di salah satu warung. Kami dsambut dengan keramahan tuan rumah, bertanya menu apa yang bisa disajikan untuk kami bertiga.

Lirih percakapan terdengar sayup sayup disekeliling kami, ada banyak mahasiswa disini, entah hanya sedang nongkrong, atau berdiskusi tentang tugas kampus atau mungkin hanya sedang berpacaran. Menarik sekali, jika dlihat dari luar sepertinya sepi merajai tempat ini, namun kenyataannya berbeda, warung ini ramai. Bersamaan dengan itu, datanglah tuan rumah dengan makan malam kami. Dari sinilah keakraban kami tercipta.

Mbak_MaretTuan rumah yang kami temui ini, ramah sekali. Ia duduk memperkenalkan diri. Mbak Maret namanya, itulah kenapa warungnya diberi nama Warung Makan Mbak Maret. Wanita ini sudah bekerja dari kecil, saat kelas 2 SD, sekitar tahun 1980, saat itu TBRS masih digunakan sebagai Kebun Binatang. Mbak Maret bejualan es kenyot seharga 5 rupiah, hasil jualannya ia gunakan untuk biaya sekolah, rupanya berjuang sudah dipelajari Mbak Maret sedari kecil. Uang hasil jualannya dimasukkan kedalam kaleng bekas susu kental manis yang telah dicuci bersih. Ia terus menabung tiap harinya, kalau sudah penuh, kalengnya diganti dengan kaleng yang lain. Saat mau membayar uang sekolah baru kaleng tersebut dibuka satu per satu. Kebiasaan baiknya ini menghantarkan ia sampai lulus SMA.

Tahun berganti, 1996 Mbak Maret yang nama aslinya Retno Ningsih, sudah bisa membuka kios kecil di halaman depan TBRS, ia tak lagi harus bersusah payah bejalan kesana kemari membawa dagangannya. Mbak Maret telah memulai memasak untuk kemudian dijual pada para pegawai kantor yang kebetulan lewat sesudah mereka selesai bekerja. Pada masa itulah Mbak Maret bertemu dengan Pak Edi yang sekarang telah menjadi suaminya, seorang pemain teater yang sering kali latihan di TBRS. Asmara remaja lama lama berkembang menjadi lebih serius Mbak Maret kemudian memutuskan untuk menikah, tapi tak disangka cobaan hidupnya datang saat ia mulai mengadung.

Pada tahun 2004, terjadi pergusuran besar besaran terhadap para pedagang di halaman depan TBRS, mereka tidak pernah membayar biaya restribusi, padahal selama ini biaya restribusi selau dibayarkan dengan teratur. Setiap harinya kios kios tesebut dilempari dengan berbagai sampah, keributan terjadi hampir setiap hari. Para pedagang beramai ramai meminta pertolongan pada LSM, tetapi hasilnya tetap nihil. Sampai pada akhirnya, orang orang seni yang biasa berlatih di TBRS turun tangan. Mereka berpendapat bahwa kios kios ituharus tetap dipertahankan agar, TBRS bisa menarik pengunjung, jika pertunjukan dimulai tanpa adanya orang yang berjualan, bisa susah menarik penonton untuk masuk. Setelah berbagai macam proses yang dijalani, akhirnya pada pedagang boleh membuka kios di dalam TBRS, dengan dikenai biaya retribusi yang baru.

Sekarang Warung Makan Mbak Maret sudah mempunyai pelanggan tetap, buka dari pukul 08.00 sampai dengan pukul 21.00. Warungnya ramai saat menjelang makan siang dan jam pulang kerja. Jika malam tiba, banyak mehasiswa, dan seniman TBRS yang nongkrong disitu untuk sekedar minum kopi. Keramahan dari Mbak Maret lah yang membuat mereka kerasan berlama lama menikmati secangkir kopi atau semangkuk mie instan. Menu yang ditawarkan juga beragam, ada nasi rames, gado gado, aneka minuman dan jajanan. Menunya berubah setiap hari, karena Mbak Maret yang memasak sendiri di warungnya, jadi semua masakannya segar, begitu dimasak langsung disajikan pada para pelanggannya. Warungnya akan ramai sekali di hari Sabtu atau Minggu, saat pentas musik digelar di TBRS, dari pagi sampai malam pendapatannya bisa sampai 1,5 juta per harinya.

Dari hasil kerja keras bersama suaminya sekarang Mbak Maret telah mempunyai rumah sendiri di kawasan Wonodri, dan menyekolahkan anak satu satunya yang gemar menari, Senja Mekaring Puspa. [Mysemarang.com 01 Apr 2012 Internet Archived Wayback Machine]

Author: Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *