TUVS – Menikmati Semarang Dalam 12 Jam
MENIKMATI Kota Semarang hanya dalam 12 jam? Bisa jadi waktu itu akan cukup, tapi bagi sebagian orang lainnya, 12 jam tentu belum dapat menggambarkan apa-apa tentang kota ini.
Namun setidaknya melalui film yang digarap Komunitas Sejarah Lopen Semarang, kita akan memperoleh gambaran bahwa kota ini ternyata ‘hidup’ di malam hari. Berbagai tempat seperti stasiun, pelabuhan, Pasar Johar hingga Simpanglima, memiliki geliat yang menarik di waktu malam.
Mengambil setting lokasi seluruhnya di kota ini, film antologi bertajuk Twaalf Uur Van Semarang (TUVS) yang berarti Dua Belas Jam di Semarang, kita akan disuguhi pemandangan sudut-sudut Kota Semarang. Stasiun Tawang, Pelabuhan Tanjung Mas, Pasar Johar, Lawang Sewu dan Tugu Muda serta tentunya ikon Simpanglima.
“Film ini diproduksi hasil kerjasama dengan Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia melalui program Shared Heritage Fund,” terang Koordinator Lopen Semarang M Yogi Fajri, usai premiere di EPlaza, Jumat (27/3/15).
FOTO BERSAMA: Sejumlah pemain film Twaalf Uur Van Semarang berfoto bersama produser M Yogi Fajri yang juga merupakan Koordinator Lopen Semarang di E-Plaza usai pemutaran perdana film ini. Foto: Nurul Wakhid
Melalui film ini, pihaknya hendak menyajikan kemolekan dan keberagaman Kota Semarang yang dikemas menjadi sebuah film berlatarkan sejumlah lokasi di Semarang. Cerita film ini sendiri bermula dari pukul 6 petang dan berakhir pada pukul 6 pagi, waktu dimana konon Semarang menunjukkan pesona terindahnya.
Dijelaskan, sebagai kota pelabuhan utama di Jawa Tengah, Kota Semarang tidak pernah tidur. Bahkan di beberapa tempat seperti di pelabuhan, pasar, dan stasiun, geliat aktivitasnya justru telah dimulai di kala sebagian besar warga Semarang sedang terlelap dalam tidurnya.
Produksi filmini diselesaikan dalam waktu empat bulan ini, terhitung mulai akhir Desember 2014 sebenarnya memiliki empat cerita berbeda. Film yang diproduseri sendiri olehnya ini juga melibatkan potensi-potensi lokal Semarang dalam penggarapannya.
Di antaranya Ragil Wijokongko, salah satu sineas muda Semarang sebagai sutradara, Rizki Rengganu Suri Pradana finalis Eagle Award Documentary Series sebagai editor, Gatot Hendraputra, musisi Jazz semarang sebagai peñata musik.
“Diharapkan dengan adanya film ini, dapat menambah semarak perkembangan dunia perfilman di Kota Semarang dan bisa juga diterima di kancah nasional, melalui roadshow yang akan digelar di tiga kota lainnya yakni Yogyakarta, Bandung dan Jakarta,” tukasnya.
Adapun empat segmen berbeda dalam film bertajuk Twaalf Uur Van Semarang adalah Makan!, Kuli(Ah), Kake’ane dan Ver van Huis. Keempat segmen diolah dengan bagus dengan tata sinema yang memadai.
Film ini sedianya juga diputar di Gedung PIP, Sabtu (28/3), Momento Jogja 11 April, Taman Film Bandung 18 April, Erasmus Huis Jakarta 25 April dan EAR House Pamulang 27 April.
Makan! – Makan adalah kebutuhan mendasar bagi makhluk hidup. Kota Semarang sendiri tanpa disadari sangat bergantung pada daerah-daerah penyangga di sekitarnya untuk memasok bahan makanan ke kota ini.
Penggambaran perjalanan sebuah kubis dari daerah penyangga hingga disantap konsumen, disajikan dengan tata sinematografi yang apik. Dibuat sebagai pembuka antologi film ini, kubis ternyata memiliki pesona tersembunyi.
Kuli(Ah) – Sesi ini menceritakan tentang Jaka, mahasiswa pelarian dari Jakarta yang terjerat kasus narkoba. Di tengah pencarian jati dirinya, ia dihadapkan pada kenyataan harus bekerja atau tetap kuliah. Di Semarang inilah pada akhirnya ia menemukan jawaban hidupnya.
Kakeane – Ini adalah bagian paling menarik dari film TUVS. Banyolan dan umpatan khas Semarangan nyaris terpapar jelas dari scene yang mengambil penokohan Amat dan Toni, seperti umpatan kakeane ataupun idiom lain asli kota ini.
Ver van huis (jauh dari rumah) – Reynard, seorang peranakan Belanda kembali ke Semarang untuk mengenang masa kecil di kota ini. Sembari mengajak serta anaknya Daniel, ia menelusur kembali jejak-jejak kenangannya.
Pada akhir cerita, Daniel akhirnya memahami bahwa ayahnya sangat mencintai Semarang dan berhasil mengubah cara pandangnya selama ini.
Menikmati Semarang dalam 12 jam?, kalau dalam dunia nyata sulit terealisasi, kecuali dalam film 🙂