Batik Lasem, Coretan Indah Yang Hampir Punah
Melacak jejak sejarah Pecinan tentu tak bisa melewatkan keberadaan sebuah kota kecamatan di pesisir utara Provinsi Jawa Tengah. Lasem, inilah kota kecamatan yang menyimpan jejak sejarah kultur peranakan di pesisir pantai utara Jawa. Lasem terletak sekitar 15 kilometer dari Kota Rembang ke arah timur. Lokasi kota ini sangan strategis karena ada di tengah tengah jalan utama yang pada zaman kolonial Belanda disebut grotepostweg atau jalan raya pos karena menghubungkan Surabaya dan Semarang.
Simpul sejarah Lasem bisa dikatakan usianya cukup tua. Hal ini tersirat dalam Serat Badra Santi yang ditulis Mpu Santi Badra pada tahun 1479 dan diterjemahkan dalam bahasa Jawa oleh Kamzah R Panji. Disebutkan bahwa pada tahun 1273 Saka atau 1351 Masehi, Lasem telah menjadi tanah perdikan Majapahit. Saat itu, Lasem dipimpin seorang perempuan bernama Dewi Indu yang bergelar Bhre Lasem yang masih terhitung keponakan Raja Hayam Wuruk. Namun versi Kitab Negarakertagama, Bhre Lasem waktu itu merupakan putri seorang penguasa bernama Sri Rajasaduhitendudewi, adik perempuan Hayam Wuruk. Arti Ghre adalah gelar untuk penguasa daerah di bawah kekuasaan Majapahit. Pada masa itu, Lasem menjadi kota pelabuhan yang ramai dan memegang peranan penting. Pelabuhannya sendiri terletak di daerah Kiringan, Regol dan Bonang Binangun.
Bhre Lasem Duhitendu Dewi kemudian menikah dengan Raja Rajasa Wardhana dari Kerajaan Mataun. Dari pernikahan itu, mereka mempunyai keturunan yaitu Pangeran Badrawardhana yang kemudian berputra Pangeran Wijayabadra, lalu Wijayabadra memiliki anak yakni Pangeran Badranala. Sang pangeran kemudian menikah dengan putri asal Campa bernama Bi Nang Ti. Dari perkawinan tersebut lahirlah putra bernama Pangeran Wirabraja dan Santibadra. Sepeninggal Badranala, yang menggantikan penguasa daerah Lasem adalah Pangeran Wirabraja. Sementara Pangeran Santibadra pergi ke Majapahit. Ia menyaksiakn jatuhnya Kota Majapahit ke tangan tentara Kadiri yang dipimpin oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.
Pada masa Kerajaan Mataram Islam, Lasem menjadi wilayah yang disebut sebagai Pasisiran, setelah ditundukkan oleh Sultan Agung antara tahun 1613 hingga 1645. Penguasa bernama Ngabehi Martananta, bekas penguasa Jepara hingga Pati. Pada zaman kolonial Belanda, Lasem masih menjadi bagian dari wilayah Mataram yakni pada masa pemerintahan Pakubuwono II (1726-1749). Pada waktu itu, terjadi pemberontakan etnis Cina yang meluas hingga wilayah Semarang yang dipimpin oleh Mas Garendi atau yang sering disebut sebagai Sunan Kuning. Sunan Kuning kemudian berhasil menyingkirkan PB II sampai Ponorogo. Lasem kemudian dikuasai oleh Ingabehi Anggajaya pada tahun 1749. Dia adalah bupati yang membawahi wilayah Rembang, Juwana, Pati dan Kudus atas bantuan Belanda.
Lasem pun kian berkembang sebagai kota pelabuhan yang cukup tenar. Bahkan karena banyaknya orang Cina yang masuk dan bermukim ke Lasem, kota ini kemudian disebut sebagai “The Little Beijing Old Town”. Lasem disebut oleh orang Perancis sebagai “Le Petit Chinois” atau Tiongkok Kecil. Sebuah referensi lainnya yakni carita Lasem, Ki Kamzah 1863, menyebutkan bahwa Kerajaan Lasem pada tahun 1351 hingga 1863 adalah bagian dari wilayah Majapahit yang menjadi sentra peradaban multikultur dan perdagangan internasional.
Memang, bayangan masa lalu kota kecil Lasem dengan kultur peranakan dan reputasi perdagangan internasionalnya terungkap bukan saja dari pustaka maupun cerita. Namun ketika kita memasuki kawasan pecinan di Lasem, kita akan menemukan bahwa jejak sejarah masa lampau itu masih terekam dengan jelas. Memasuki kawasan pecinan, kita dapat melihat rumah rumah tinggi besar berarsitektur langgan Cina yang dibungkus tembok, menyiratkan kamampuan ekonomi pemiliknya yang sejahtera.
Melihat banyaknya etnis Tionghoa yang masuk ke Lasem, produk akulturasi pun mau tak mau hadir di tengah tengah masyarakat Lasem. Batik, kain yang dilukis dengan canting ini memang menyimpan segudang cerita. Batik Lasem merupakan produk hasil akulturasi budaya Cina dan jawa. Untuk melacak sejarah batik Lasem sangat sulit dilakukan karena ahli ahli sejarah yang telah menelaah batik Lasem sangat langka.
Salah satu sumber sejarah yang menyebutkan tentang awal mula dilakukan pembatikan di Lasem adalah Serat Badra Santi dari Mpu Santi Badra yang ditulis pada tahun 1479 Masehi dan diterjemahkan oleh U.P Ramadharma S. Reksowardojo pada tahun 1966. Serat ini menyebutkan bahwa pada tahun 1335 Saka (1413 Masehi) salah seorang nahkoda dari armada laut Cheng Ho yang bernama Bi Nang Un mendarat bersama istrinya yang bernama Na Li Ni di pantai Regol, Kadipaten Lasem yang sekarang disebut sebagai Pantai Binangun. Bi Nang Un adalah seorang nahkoda yang berasal dari Campa (Indocina) yang saat itu menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Ming.
Na Li Ni adalah seorang yang memiliki bakat seni terutama seni tari dan batik. Ketika putri Na Li Ni memulai kehidupannya di Lasem, ia melihat sebagian besar masyarakat Lasem hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Oleh karenanya, Na Li Ni berupaya memperbaiki kehidupan masyarakat Lasem dengan cara mengajarkan seni membatik dan seni tari kepada putra putrinya serta para gadis di Taman Banjar Mlati Kemadhung. Putri Na Li Ni juga mulai mengembangkan seni batik dengan metode dan motif yang lebih bervariasi, dengan tujuan meningkatkan ekonomi masyarakat Lasem. Dalam perkembangannya, masyarakat Lasem terutama masyarakat keturunan Cina banyak yang menjadi pengusaha Batik.
Adalah Sigit Witjaksono, salah seorang pengusaha batik Lasem sekaligus tokoh pembauran masyarakat yang hingga di usianya yag sudah senja masih tetap bersemangat menekuni usaha batik tulis Lasem. Di usianya yang 84 tahun, Sigit masih terlihat bugar, meski pendengaran beliau agak sedikit terganggu karena faktor usia. Sigit terlahir dengan nama Njo Tjoen Hian yang berarti kebaikan dan kebijaksanaan itu merupakan satu dari segelintir generasi tua peranakan yang masih menetap di Lasem.
Awalnya, batik Sekar Kencana yang dimilikinya merupakan warisan usaha dari sang ayah Njo Wat Djiang. Sigit berkisah bahwa andai saja dirinya tak menderita sakit radang selaput otak, kemungkinan besar dirinya tak akan pernah mewarisi usaha sang ayah. Ketika tengah mengerjakan skripsi, Sigit terkena radang selaput otak yang memaksanya harus drop out dari bangku kuliah. Sigit kemudian tergerak untuk melanjutkan usaha sang ayah untuk membesarkan batik Lasem.
“Batik Lasem pernah mengalami masa kejayaan di abad XIX hingga tahun 1940. Sampai sampai pada tahun 1970-an diperkirakan sebagian besar wanita di Lasem berprofesi sebagai pembatik,” ujar Sigit.
Sigit menjelaskan motif motif batik Lasem terlihat cukup rumit. Namun itulah ciri khas kain batik yang konservatif tradisional. Motif khas batik lasem banyak menampilkan motif flora dan fauna, seperti burung hong, naga, bunga peony, seruni, teratai dan liong. Tambahan ornamen kawung, gunung ringgit, latohan, watu pecah atau krecak dan parangan juga menjadi corak khas dari batik Lasem ini.
“Batik Lasem memiliki warna warna dominan merah yang menyerupai darah ayam. Warna merah membuktikan bahwa inilah suatu tanda pertautan akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Selain itu, warna warna kuning, biru dan hijau pesisir juga merupakan warna khas dari Batik Lasem. Kombinasi beberapa warna akan menghasilkan keseimbangan (ying – yang), seperti merah yang melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan (yang), putih melambangkan kesucian, kesempurnaan (yin). Biru atau hijau melambangkan pertumbuhan, perkembangan (yang), kuning melambangkan keseimbangan (yin dan yang) dan hitam melambangkan kemunduran, kehancuran atau kematian (yin)”, paparnya.
Menurut pria yang pernah bermain film Ca Bau Kan ini, keunikan dari Batik Lasem adalah warna merah darah ayam pada batik Lasem atau abang getih pithik. Warna seperti itu konon sulit ditiru dan hanya bisa dibuat oleh para pembatik di Lasem. Awalnya banyak yang tak mengerti mengapa warna merah itu sulit ditiru, namun belakangan Sigit mengetahui apa sebabnya. Menurutnya, ketika itu dirinya dipertemukan dengan profesor asal Jepang yang meneliti kandungan air tanah di Lasem. Rupanya, profesor tersebut menemukan bahwa air tanah di Lasem mengandung senyawa mineral tertentu. Hasilnya adalah warna merah yang cenderung gelap namun cantik. Sigit pun berinovasi dengan membuat kaligrafi tulisan Cina pada batik karyanya, dan batik tersebut mendapat respon yang sangat luar biasa dari para pelanggannya.
“Batik Lasem pernah berjaya dan masuk enam besar kota penghasil batik di Indonesia. Bahkan Suriname termasuk pengimpor terbanya. Dulu ayah saya bisa mengirimkan 500 lembar kain batik setiap bulannya. Saya sekarang makin tua, jadi bisnis saya sekarang banyak dipegang oleh istri. Semoga nanti di antara keempat anak saya ada yang berminat meneruskan bisnis ini”, paparnya.
Melihat potensi bisnis yang luar biasa besar, Sri Winarti, salah seorang pribumi yang sejak kecil membatik akhirnya memberanikan diri membuat usaha Batik Lasem. Sr mengatakan bahwa dirinya membatik sejak usia 5 tahun. Ketika itu sang nenek merupakan pembatik di salah satu pengusaha peranakan di Lasem. Pada akhirnya, Sri pun membuka usaha batik Sumber Rejeki. Usahanya pun maju pesat karena istri sang bupati sangat mendukung program UKM di Lasem. Dibawah usaha Batik Lasem Sumber Rejeki yang didirikannya, Sri kini banyak membawahi pengrajin batik kecil yang menyetor batik ke tokonya. Sri juga sangat aktif mengikuti berbagai pameran untuk memperkenalkan bahwa Batik Lasem tidak pernah punah.
[Majalah Kabare, Agustus 2013]