Jalur Kereta Api Pertama di Indonesia & Stasiun di Semarang
Jalur Kereta Api Pertama di Indonesia
Transportasi jenis ini mulanya dibangun demi kebutuhan ekonomi pemerintah dan swasta pada masa kolonial Belanda. Kala itu hasil perkebunan sebagai produk kebijaksanaan tanam paksa (Cultuur Stelsel) seperti gula, kopi, nila maupun tembakau dan hasil olahannya harus segera diangkut ke pelabuhan untuk diekspor. Gagasan yang telah ada sejak 1840 ini pada mulanya ditentang keras karena ada anggapan tentang minimnya volume produk yang akan diangkut dan hanya segelintir orang Belanda saja yang akan memanfaatkannya.
Saat itu meski sudah ada jalan raya pos (de Groothe Postweg), yang dibangun pada masa Deandels, produk perkebunan masih saja menumpuk di wilayah pedalaman sehingga membutuhkan waktu lama untuk diolah atau dikirim ke pelabuhan.
Awalnya adalah membangun jalur rel Semarang – Vorstenlanden (wilayah kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, daerah perkebunan yang subur). Pembangunan ini dilaksanakan oleh Nederlandsch – Indisch Spoorwegmaatschappij (NIS).
Sejak tahun 1867, meskipun didera kesulitan keuangan dan teknis, dimulailah pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Semarang – Tanggung sepanjang 27 km. Peresmiannya baru dilakukan pada 10 agustus 1867. Lima tahun kemudian lintasan Semarang – Surakarta – Yogyakarta bisa dikerjakan dengan susah payah, termasuk lintasan cabang Kedung Jati – Ambarawa untuk kepentingan militer.
Adanya keuntungan yang mampu diraih dari bisnis kereta api ini mendorong munculnya perusahaan kereta api di Jawa diantaranya Semarang – Joana Stoomtram Maatschaappij (SJS) dan Semarang – Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Munculnya Stasiun di Semarang.
Pada mulanya bangunan stasiun di Semarang sangat sederhana. Perusahaan kereta api tidak terlalu memperdulikan bangunan. Perhatiannya lebih tertuju pada lokomotif, jalan rel dan jembatan. Bahkan banyak stasiun kecil dibangun dengan material kayu dan bambu. Sedangkan stasiun besar dari batu bata dengan desain sederhana mirip barak.
1. Stasiun Samarang NIS (Tambaksari).
Stasiun pertama di Semarang (termasuk pertama di Indonesia) adalah stasiun Samarang NIS yang terletak di Tambaksari, kelurahan Kemijen. Stasiun ini mulai dipakai sejak beroperasinya jalur Semarang Tanggung pada tahun 1867. Stasiun ini merupakan stasiun ujung (kopstasion) berbentuk U. Salah satu sayap sebagai gudang barang sedangkan sayap lain untuk penumpang.
Sumber lain ada yang menyebut stasiun pertama terletak di Kemijen. Sebenarnya NIS tidak pernah membangun stasiun tersebut melainkan sebuah halte Kemijen (SJS), yang terletak tak jauh dari stasiun Samarang NIS. Halte ini berada di jalur Semarang-Demak. Ketika itu NIS selesai membangun stasiun baru di Tawang, sebagian stasiun ini dirobohkan, untuk memasang rel menuju Tawang, dengan menyisakan gudang barang. Sekarang stasiun ini dekenal sebagai stasiun Semarang Gudang.
2. Stasiun Djoernatan (Central Station).
Tahun 1882, perusahaan Samarang – Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) membangun jalur kereta api dari Semarang ke Juana melalui Demak, Kudus dan pati. Jalur SJS ini kemudia diperpanjang hingga ke Blora melalui dua rute: Semarang – Rembang – Blora dan Semarang – Purwodadi – Blora. Dari Blora pembangunan rel diteruskan ke Cepu. Di Semarang SJS membangun stasiunnya di Joernatanweg (sekarang jalan Agus Salim). Karena pada waktu itu letak stasiun ini berada di tengah tengah kota, maka disebut Centraal Station.
Selain melayani jalur antar, Stasiun Jurnatan merupakan pusat jaringan trem kota Semarang. Trem kota ini selain menghubungkan stasiun Jurnatan dengan Stasiun NIS di Tambaksari dan Pelabuhan Semarang juga menempuh rute Jurnatan – Bulu dan Jurnatan Jomblang. Jalur Jurnatan Bulu berada di sisi Jalan Bojong (Jalan Pemuda) sedangkan jalur Jurnatan Jomblang melintas sepanjang jalan yang sekarang dikenal sebagai MT Haryono. Namun keadaan kedua jalan itu jauh berbeda dengan keadaan jaman sekarang.
Pada awalnya stasiun Jurnatan berupa bangunan kayu sederhana. Namun pada tahun 1913 stasiun kecil itu dibongkar dan digantikan oleh sebuah bangunan baru yang besar dan megah dengan konstruksi atap dar baja dan Kaca. Meski stasiun berada di akhir jaringan SJS, bangunan baru itu tidak dirancang sebagai stasiun ujung (Kopestation), tetapi berupa stasiun Pararel, yaitu dengan satu sisi memanjang sebagai pintu masuk utama sedangkan di sisi seberangnya terdapat peron peron.
Tahun 1974 stasiun Jurnatan tidak difungsikan lagi dan semua kereta api jurusan Demak dialihkan ke Stasiun Tawang. Tak lama kemudian seluruh jaringan kereta api eks SJS ditutup karena tidak mampu bersaing dengan moda transportasi darat lainnya. Stasiun megah ini sempat terlantar tetapi kemudian dimanfaatkan sebagai terminal bus antar kota. Tetapi ini juga tidak berlangsung lama. Pada awal 1980-an bangunan stasiun Jurnatan dibongkar dan tempatnya sekarang berdiri sebuah kompleks pertokoan.
3. Stasiun Pendrikan.
Stasiun Pendrikan adalah stasiun ketiga setelah setasiun Tambaksari dan Jurnatan. Stasiun ini dibangun oleh Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), sebuah perusahaan swasta yang mendapat konsesi untuk membuka jalur kereta api dari Semarang ke Cirebon. Setasiun Pendrikan telah ada sejak 1897 bersamaan dengan pembangunan jalur itu. Disebut dengan stasiun Pendrikan karena terletak di kawasan Pendrikan Lor, di sebelah utara jalan Indraprasta sekarang, tidak jauh dari perempatan jalan Indrapasta, jalan Imam bonjol dan Jalan Piere Tendean yang ketika itu masih merupakan daerah pinggiran Kota.
Jalur Semarang Cirebon melalui Pekalongan dan Tegal disebut juga “alur Gula” (Sulkerlijn) karena pembangunannya semula untuk melayani sekitar 27 pabrik gula di pantai utara Jawa Tengah bagian barat. Jalur ini tadinya hanya jalur rel ringan yang dibangun di sisi jalan raya. Karena konstruksiyang ringan dan kecepatan maksimum kereta api hanya 35 km/jam. Tetapi antara 1912 -1921 jalur ini ditingkatkan sehingga kereta api yang lebih cepat dan berat bisa melintasinya. Sejak itu jalur ini menjadi bagian penting hubungan rel antara Jakarta (Batavia), Semarang dan Surabaya.
Stasiun Pendrikan berfungsi sampai tahun 1914 ketika stasiun SCS yang baru di Poncol selesai dibangun dan mulai beroperasi. Namun meski digunakan cukup lama, namun stasiun ini tidak layak disebut stasiun dan lebih tepat disebut halte. Memang stasiun ini semula tidak dirancang untuk tempat naik dan turun penumpang. Para penumpang SCS mengawali dan mengakhiri perjalanan mereka di Stasiun Jurnatan milik Samarang-Joana Stroomstam Maatschappij (SJS).
4. Stasiun Poncol (Semarang-West)
Pada tanggal 6 Agustus 1914, SCS resmi menggunakan stasiun baru di kawasan poncol. Mengingat letaknya di pinggir barat kota Semarang, stasiun ini disebut Semarang-West. Stasiun Poncol ini dirancang oleh Henry Maclaine-Pont, yang juga merancang Kampus ITB. Bagian tengah bangunan itu, yang sekaligus merupakan pintu masuk utama dihiasi dengan ubin berwarna hitam abu abu. Pada panel di kiri dan kanan bangunan terdapat tulisan SCS dan angka tahun 1914 terbuat dari ubin hitam dan keemasan. Sebuah jam berada di puncak bangunan. Sayangnya, semua ornamen ini sudah tidak ada lagi sehingga keindahan bangunan juga ikut hilang. Ditambah lagi peron yang semula terbuka sekarang tertutup dinding sehingga kesan rindang dari bangunan hilang.
5. Stasiun Tawang.
Stasiun Tawang diresmikan penggunaannya pada i Juni 1914. Stasiun ini dibangun untuk menggantikan Stasiun Samarang NIS di Tambaksari yang dianggap sudah tidak memadai lagi sekaligus menyambut Koloniale Tentoonstelling, Pekan Raya Internasional untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol yang diadakan di Kota Semarang. Stasiun ini merupakan yang terakhir dibangun di Semarang sampai Saat ini. Proses pembangunannya berlangsung sekitar 3 tahun. Rancangan bangunan ini dibuat oleh Ir Sloth Blawboer yang diperkirakan adalah staf NIS. Meski hasil rancangannya terkesan megah, arahan dari direksi NIS di Den Haag lebih menekankan pada bangunan yang fungsional.
Stasiun Tawang dirancang sebagai perhentian kereta api jurusan Solo dan Yogyakarta melalui rel 1645 mm. Pada tahun 1924 Tawang menjadi perhentian kereta api Surabaya melalui Brumbung, Gambringan dan Cepu dengan lebar sepur 1067 mm. Untuk itu dibangun peron baru di utara peron sepur lebar.
Sampai sekarang Stasiun Besar Tawang masih berfungsi sebagai stasiun utama Semarang. Setiap tahun tidak kurang dari 600.000 penumpang menggunakan stasiun ini. Disamping itu stasiun Tawang dalam menghidupkan “Kota Lama” Semarang tidak bisa diabaikan. Namun keberadaan stasiun ini terancam banjir dan pasang surut air laut (rob). Untuk mengatasinya, telah dilakukan tiga kali pengurukan lantai bangunan. Ketinggian bangunan telah berkurang 1.5 meter akibat peninggian itu. Tak hanya lantai bangunan yang ditinggikan, jalan rel pun ikut ditinggikan. Meskipun begitu, banjir dan rob tetap menjadi masalah utama bagi stasiun kebanggan masyarakat Semarang.
Pada tahun 2006 pernah terjadi banjir yang melumpuhkan Stasiun ini. Dampaknya, perjalanan kereta api melalui jalur Jawa terganggu. Kejadian yang sama terulang lagi pada tahun 2008. Di halaman parkir stasiun, ketinggian air mencapai 1 meter. Di dalam stasiun banjir mencapai lutut orang dewasa. Kondisi ini tentu saja mengganggu aktivitas di dalam dan di luar stasiun. Penjualan tiket tidak bisa dilakukan di loket tetapi di dekat kereta api. Beberapa kereta api yang melintas mengalami keterlambatan karena tertahan banjir di Stasiun Tawang.
Sumber: Sebagaimana tertulis di salah satu papan di Lawang Sewu, dalam Sejarah Perkeretaapian di Indonesia.
Credit Foto Rel: www.kereta-api.co.id